KEDUDUKAN HUKUM PEMEGANG HAK MILIK ATAS TANAH PERTANIAN YANG MELEBIHI BATAS MAKSIMUM

Authors

  • Rani Rizkiyanti Faculty of Law, Airlangga University Jl. Dharmawangsa Dalam Selatan, Airlangga, Gubeng, Kota SBY, Jawa Timur 60286

DOI:

https://doi.org/10.30742/perspektif.v23i3.663

Keywords:

Hak Milik atas Tanah Pertanian, Landreform, Redistribusi, Ganti Rugi, Property right over agricultural land, landreform, redistribution, compensation

Abstract

UUPA mengenal pembatasan kepemilikan tanah, hal ini diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 17. Disebutkan lebih lanjut dalam Pasal 17 UUPA bahwa pembatasan kepemilikan tanah itu berlaku untuk satu keluarga maupun badan hukum. Penetapan batas maksimum kepemilikan tanah ini diatur dalam Undang-undang Nomor 56 Prp tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian. Manakala ada pemilik tanah pertanian yang melebihi batas maksimum, maka kepemilikan hak atas tanah tersebut sudah seharusnya terkena ketentuan redistribusi tanah dan mendapatkan ganti rugi bagi bekas pemilik tanah pertanian yang melebihi batas maksimum. Pasal 7 UUPA menyebutkan bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Menjadi permaslahan bagaimana kedudukan hukum pemilik tanah yang melebihi batas tersebut. Hasil yang didapatkan dari penulisan ini adalah ada beberapa faktor dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh penerima redistribusi dan bekas pemilik tanah pertanian. Tahapan mekanisme redistribusi tanah-tanah pertanian yang melebihi batas maksimum itu diawali dari kegiatan pendaftaran dan penelitian, tindakan penetapan bagian tanah untuk bekas pemilik, bahan-bahan keterangan untuk pemberian ganti rugi, pendaftaran para penggarap, pemberian ijin untuk mengerjakan tanah-tanah pertanian yang melebihi batas maksimum, dan yang terakhir adalah redistribusi atau pembagian tanah kepada para petani yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Peraturan Perundang-undangan.

The UUPA recognizes land ownership restrictions, this is regulated in Article 7 and Article 17, which in Article 7 contains that not to harm the public interest, ownership and control of land that exceeds that limit is not permitted. Further mentioned in article 17 of the UUPA that the limitation of land ownership applies to one family and legal entity. Determination of the maximum limit of land ownership is regulated in Law Number 56 Prp of 1960 concerning the determination of the extent of agricultural land. When there is an agricultural land owner who exceeds the maximum limit, the ownership of the land rights should be subject to the provisions of land redistribution and obtain compensation for former owners of agricultural land that exceeds the maximum limit. Article 7 of the UUPA states that to not harm the public interest, ownership and control of land that exceeds the limit is not permitted. It becomes a problem of how the legal position of landowners exceeds this limit. The results obtained from this paper are that there are several factors and conditions that must be met by recipients of redistribution and former owners of agricultural land. The stages of the mechanism of redistribution of agricultural lands that exceed the maximum limit are initiated from registration and research activities, actions to determine land parts for former owners, information materials for compensation, registration of cultivators, granting permission to work on agricultural lands that exceed the maximum limit, and the last is the redistribution or division of land to farmers who have fulfilled the conditions specified by the legislation.

References

Perundang-Undangan:

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Buku:

Aartje Tehupeiory. (2012). Pentingnya Pendaftaran Tanah di Indonesia. Jakarta: Raih Asa Sukses.

Achmad Chulaimi. (2007). Hukum Agraria. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Adrian Sutedi. (2008).Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya. Jakarta: Sinar Grafika.

Arba. (2015). Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Aslan Noor. (2006). Konsep Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau Dari HAM. Cet. I. Jakarta: Mandar Maju.

Boedi Harsono. (2003). Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan.

I Nyoman Budi Jaya. (1989). Tinjauan Yuridis Tentang Redistribusi Tanah Pertanian Dalam Rangka Pelaksanaan Landreform. Yogyakarta: Liberty.

Urip Santoso. (2013). Hukum Agraria. Cetakan III. Jakarta: Kencana Prenamedia Group.

Urip Santoso. (2014). Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah. Cetakan IV. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.

Jurnal:

Ngakan Putu Muderana. “Landreform dan Revolusi Nasional Indonesia”. Perspektif. Vol. 2 No. 2 Juli 1997, h. 33-44.

Fani Martiawan Kumara Putra. (2015). “Pembatalan Sertifikat Hak Atas Tanah Karena Cacat Administratif Serta Implikasinya Apabila Hak Atas Tanah Sedang Dijaminkan”. Perspektif. Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Volume 20 No. 2 Edisi Mei, h. 101-117.

Website:

Kamus Besar Bahasa Indonesia. http://kbbi.web.id/sawah, http://kbbi.web.id/tanahkering. diakses pada tanggal 06 Januari 2016.

Downloads

Published

2018-09-30