PERKEMBANGAN STANDAR PEMBERIAN INFORMASI PADA PROSES INFORMED CONSENT DALAM PERJANJIAN TERAPEUTIK

Authors

  • Christine Elisia Widjaya Fakultas Hukum, Universitas Airlangga

DOI:

https://doi.org/10.30742/perspektif.v27i1.819

Keywords:

informed consent, perjanjian terapeutik, treatment contract

Abstract

Perkembangan standar atas informasi yang disampaikan kepada pasien mengenai tindakan medis atau pemeriksaan yang diusulkan oleh dokter dalam perjanjian terapeutik wajib mendapatkan persetujuan setelah diberikan informasi cukup mengenai kriteria-kriteria tertentu yang sah secara hukum. Tujuannya adalah agar pasien dapat mengambil keputusan dengan kesadaran penuh akan seluruh konsekuensi dan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Permasalahannya adalah kegagalan untuk memberikan informasi yang adekuat kepada pasien merupakan suatu pelanggaran atas kewajiban profesional dokter, dan karenanya dianggap sebagai suatu malpraktik medis. Penelitian yang membahas mengenai perkembangan standar pemberian informasi pada proses informed consent di perjanjian terapeutik ini menggunakan pendekatan konseptual, pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan studi perbandingan yang membandingkan antara putusan pengadilan atas kasus malpraktik medis di Indonesia, Jerman, dan Amerika Serikat. Penelitian ini menemukan adanya pergeseran standar informasi dari yang semula menggunakan perspektif kepentingan dokter menjadi beralih pada standar perspektif kepentingan pasien untuk menghormati dan mempromosikan otonomi pasien. Potensi gugatan malpraktik medis adalah akibat persetujuan tindakan medis yang diberikan secara tidak benar, terkait dengan kemungkinan adanya risiko medis yang telah terprediksi maupun belum dapat diperkirakan sebelumnya.

The development of standards for information submitted to patients regarding medical actions or examinations proposed by doctors in therapeutic agreements must obtain approval after being given sufficient information about certain legally valid criteria. The goal is that the patient can make decisions with full awareness of all the consequences and possibilities that occur. The problem is that failure to provide adequate information to patients is a violation of the doctor’s professional obligations, and is therefore considered a medical malpractice. This study discusses the development of standards for providing information on the informed consent process in this therapeutic agreement using a conceptual approach, a statutory approach, a case approach, and a comparative study approach that compares court decisions on medical malpractice cases in Indonesia, Germany, and the United States. This study found that there was a shift in information standards from using the perspective of the doctor’s interests to shifting to the standard perspective of the patient’s interests to respect and promote patient autonomy. The potential for a medical malpractice lawsuit is the result of an incorrectly granted medical approval agreement, related to the possibility of predictable or unpredictable medical risks.

References

Peraturan Perundangan-undangan:

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585 Tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor 1441/Pid.Sus/2019/PN.Mks.

Buku:

Alasdair Maclean. (2004). Briefcase on Medical Law. Oregon: Cavendish Publishing.

Anang Endaryanto. (2015). Implikasi Klinis Imunologi Alergi dalam Manajemen Anak Alergi. Surabaya: Airlangga University Press.

Anny Isfandyarie. (2005). Malpraktek dan Risiko Medis. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Hermien Hadiati Koeswadji. (2008). Hukum Kedokteran (Studi tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak). Bandung: Citra Aditya Bakti.

J. Guwandi. (2005). Medical Error dan Hukum Medis. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

_______. (2006). Dugaan Malpraktik Medik dan Draft RPP: Perjanjian Terapeutik Antara Dokter dan Pasien. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Jose Miola. (2007). Medical Ethics and Medical Law. Portland: Hart Publishing.

Junaidi Eddi. (2011). Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa Medis. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Marc S. Stauch. (2008). The Law of Medical Negligence in England and Germany. Portland: Hart Publishing.

Maurits Barendrecht. (2007). Service Contracts (Principle of European Law). Munich: Sellier European Law Publishers.

Medical Board of California. (2013). Guide to the Laws Governing the Practice of Medicine.

Robert G. Meyer dan Christopher M. Weaver. (2006). Law and Mental Health: A Case-Based Approach. New York: Guilford Press.

Ruth R. Faden dan Tom L. Beauchamp. (1986). A History and Theory of Informed Consent. New York: Oxford University Press.

Troyen A. Brennan. (1991). Just Doctoring: Medical Ethics In Liberal State. Berkeley: University of California Press.

Veronica Komalawati. (1999). Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik. Bandung: Cipta Adikarya Bakti.

Jurnal:

Achmad Busro. (2018). “Aspek Hukum Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) Dalam Pelayanan Kesehatan”. Law, Development, and Justice Review. 1(1), 6.

Riza Alifianto Kurniawan. (2013). “Risiko Medis dan Kelalaian Terhadap Dugaan Malpraktik Medis di Indonesia”. Jurnal Perspektif. 18(3), p.155.

Sarah W. Chan, et.al. (2017). “Montgomery and Informed Consent: Where Are We Now?”. BMJ. 357, p.3.

Timothy J. Paterick, et.al. (2008). “Medical Informed Consent: General Considerations for Physicians”. Mayo Clinical Proceedings. 83(3), p.135.

Website:

Nancy E. Epstein, “Legal and Evidenced-Based Definitions of Standard of Care: Implications for Code of Ethics of Professional Medical Societies,” https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6322161/, dikunjungi pada tanggal 25 Oktober 2021

Downloads

Published

2022-01-30