KEWENANGAN LEMBAGA HUKUM DALAM MENENTUKAN BESARAN KERUGIAN DAN PENGEMBALIAN KEUANGAN NEGARA HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

Authors

  • Novian Ardynata Setya Pradana Magister Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Airlangga
  • Arif Subekti Magister Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Airlangga
  • Cahyo Harjo Prakoso Magister Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Airlangga

DOI:

https://doi.org/10.30742/perspektif.v24i3.719

Keywords:

Korupsi, BPK, Jaksa, Corruption, Prosecutor

Abstract

Dalam memeriksa suatu perkara tindak pidana korupsi untuk menentukan suatu kerugian negara, maka kewenangan melakukan audit adalah BPK sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, kedudukan BPK merupakan Badan Pemeriksa Keuangan yang paling tinggi dalam hal keuangan negara, yang diatur dalam Pasal 23 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945. Tetapi pada kenyataannya Jaksa melakukan kewenangan penyidikan dalam perkara korupsi melebihi kewenangannya. Jaksa juga melakukan kewenangan melakukan audit kerugian keuangan negara, hal tersebut melebihi kewenangan Jaksa dan mengambil alih kewenangan BPK. Kondisi ini menyebabkan kerancuan siapa yang berhak untuk menghitung kerugian keuangan Negara dan mekanisme pengembalian kerugian keuangan negara dari tindak pidana korupsi. Metode pemecahan masalah menggunakan pendekatan normatif menggunakan peraturan per Undang-Undangan yang berlaku dan pendekatan konseptual diambil dari teori dan doktrin hukum yang sudah ada. Sesuai faktanya aturan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan PERMA Nomor 5 Tahun 2015 juga tidak ada proses mekanisme secara rinci pembayaran kerugian tetapi lebih menjelaskan mengenai perampasan penyitaan lalu dilelang guna menutupi kerugian negara Dengan ini perlu adanya aturan terkait mekanisme pengembalian dan kewenangan dalam menentukan jumlah kerugian negara.

In examining certain cases of corruption to determine a state loss, the authority to audit is BPK in accordance with Article 2 of the BPK law. The position of the supreme audit board is the highest audit agency in the case of the finances state, as regulated in Article 23 paragraph 5 of the 1945 Constitution. However at reality the Prosecutor conducts investigative authority in corruption case, sometimes exceeding their authority. This condition causes confusion which intitution have authority to calculate financial state loss and mechanism for recovering financial state losses from corruption.The problem soving method uses a statue approach which it uses applicable regulation and law and conseptual approach from the theory and doctrine that still exist. Actually the fact from Article 18 Regulations number 31/1999 and PERMA number 5/2015 there is no rules of state financial loss return but it just explain of seizure adn foreclosure then auctioned off for compesate the financial loss. Because of that problem, the conclusion is to make a new regulation about mechanism recovering financial state losses and the authority of calculate financial state loss.

References

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi.

TAP MPR-RI Nomor XI/MPR/1989 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN.

Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara.

Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi.

Putusan Mahkamah Agung RI No. 934 K/Pid/1999 tanggal 28 Agustus 2000.

Buku:

Bohari. (1992). Pengawasan Keuangan Negara. Jakarta: Rajawali.

Ermansjah Djaja. (2008). Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta: Sinar Grafika.

I.P.M Ranuhandoko. (2003). Terminologi Hukum Inggris-Indonesia. Cetakan Ketiga. Jakarta: Sinar Grafika.

M. Yahya Harahap. (2012). Pembahasana Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan. Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.

Marwan Effendy. (2005). Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya Dari Prespektif Hukum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

P.A.F Lamintang, Theo Lamintang. (2009). Delik-Delik Khusus Kejahatan Jabatan dan Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Kourpsi. Jakarta: Sinar Grafika.

Peter Mahmud Marzuki. (2005). Penelitian Hukum. Edisi Pertama. Cet. VII. Jakarta: Kencana.

Purwaning M. Yanuar. (2007). Pengembalian Aset Hasil Korupsi. bandung: Alumni.

Romli Atmasasmita. (2002). Korupsi, Good Governance Dan Komisi Anti Korupsi Di Indonesia. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI.

Soetrisno. (1982). Dasar Dasar Ilmu Keuangan Negara. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada.

W.J.S Poerwadarminta. (1976). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Jurnal:

Budi Hariyanto. (2018). “Penerapan Pidana Uang pengganti Kepada Korporasi Dalam Perkara Korupsi Demi Pemulihan Kerugian Keuangan Negara”. Jurnal RECHTSVINDING Media Pembinaan Hukum Nasional. Volume 7 Nomor 1 Tahun 2018.

Nur Basuki Minarno. (2007). ”Pembuktian Unsur Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak Pidana Korupsi”. Jurnal Perspektif. 12(1), h. 54-55.

Downloads

Published

2019-09-28