SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DOI:
https://doi.org/10.30742/perspektif.v28i3.883Keywords:
Pembuktian terbalik, tindak pidana korupsi, konflik norma, hak asasi manusia, reversed proof, corruption, conflict of norms, human rightAbstract
Pembuktian terbalik merupakan yaitu bentuk dari KUHAP. Proses pembuktian terbalik yaitu ketentuan khusus yang dibuat oleh pemerintahan melalui dibentuknya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang sebagaimana dirubah dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena sistem pembuktian yang diberlakukan dalam tindak pidana korupsi ini berbeda dengan yang diberlakukan pada hukum acara pada umumnya. Tulisan ini akan mengemukakan pengaturan sistem pembuktian terbalik dalam KUHAP dan UU PTPK, selain itu juga memaparkan terkait Konflik Norma dalam Pembuktian Terbalik antara KUHAP dan UU PTPK dan juga pembahasan pembuktian terbalik dalam perspektif HAM. Tujuan penulisan untuk mengetahui dan mendeskripsikan sistem pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi beserta konflik norma dan pembahasan dalam perspektif HAM. Menggunakan metode penelitian dengan tipe yuridis normatif dan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual serta pendekatan komparatif. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sistem pembuktian terbalik yang dianut UU PTPK adalah sistem pembuktian terbalik secara terbatas dan berimbang. Yakni bahwa dalam hal melakukan dakwaan, jaksa tetap harus memiliki bukti-bukti awal yang cukup dan tidak asal membuat dakwaan. Sedangkan terdakwa yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi memiliki hak sekaligus kewajiban dalam hal membuktikan dirinya tidak bersalah, yakni dengan memberikan keterangan mengenai asal-usul kekayaannya.
Reverse proof is a form of the Criminal Procedure Code. The process of proof is reversed, namely special provisions made by the government through the establishment of Law no. 31 of 1999 which as amended in Law no. 20 of 2001 concerning the Eradication of Corruption Crimes. This is because the evidentiary system applied to corruption is different from that applied to procedural law in general. This paper will present the arrangement of the reverse evidentiary system in the KUHAP and the PTPK Law, besides that it will also explain the Conflict of Norms in Reverse Proof between the KUHAP and the PTPK Law and also discuss reversed proof from a human rights perspective. The purpose of writing is to find out and describe the reverse evidentiary system in acts of corruption along with conflicting norms and discussions from a human rights perspective. Using research methods with normative juridical types and statutory approaches, conceptual approaches and comparative approaches. The conclusion of this study is that the reverse proof system adopted by the PTPK Law is a limited and balanced reverse proof system. Namely that in terms of carrying out charges, the prosecutor must still have sufficient initial evidence and not just make charges. Meanwhile, a defendant who has been charged with committing a criminal act of corruption has both rights and obligations in terms of proving his innocence, namely by providing information regarding the origin of his wealth.
References
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Buku:
Andi Hamzah. (1991). Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
_______. (2005). Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Clive Walker dan Keir Steimer. (1999). Miscarriage of Justice. Blackstone Press Ltd., h. 40.
Hari Sasangka dan Lily Rosita. (2003). Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. Bandung: Mandar Maju.
J. Remmelink. (2003). Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia. Jakarta: Gramedia.
J.C.T. Simorangkir. (1983). Kamus Hukum. Jakarta: Aksara Baru.
M. Yahya Harahap. (2006). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.
Robert Klitgaan. (2005). Memberantas Korupsi. Penerjemah Hermojo. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Soesilo Yuwono. (1982). Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP (Sistem dan Prosedur). Bandung: Alumni.
Yan Pramadya Puspa. (1977). Kamus Hukum (Edisi Lengkap). Semarang: Aneka.
Jurnal:
Ardi Ferdian. “Sistem Pembebanan Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Korupsi”. Jurnal Arena Hukum. Volume 6 Nomor 3 Desember 2012.
Bambang Heri Supriyanto. “Penegakan Hukum Mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) Menurut Hukum Positif di Indonesia.” Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial. Vol. 2 No. 3 (2014).
Dian Adriawan Daeng Tawang & Rini Purwaningsi. “Burden of Proof Reverse as a Solution to Eradicate Bribery in Criminal Acts of Corruption.” International Journal of Social Service and Research. Vol. 2 No. 9, 2022, h. 837.
Djoko Sumaryanto. “Reversal of the Burden of Proof in Taxation Corruption. Journal of Justice. Vol. 5 No. 1, 2011, h. 289.
Fachrul Rozi. “Sistem Pembuktian Dalam Proses Persidangan Pada Perkara Tindak Pidana.” Jurnal Yuridis Unaja. Vol. 1 No. 2 (2018).
H. Firman Freaddy Busroh. “Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana Korupsi”. Jurnal Hukum to-ra. Vol. 2 No. 2 Agustus 2016.
Muhammad Abdul Kholiq. “Asas Pembuktian Terbalik dalam Penyelesaian Kasus Kejahatan Korupsi.” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum. Vol. 9 No. 20, 2016, h. 60.
Soehartono Soemarto. “The Reconstruction of the Reversal of the Burden of Proof Verificationin Corruption Delict.” International Journal of English Literature and Social Sciences (IJELS). Vol. 3. No. 5, 2018, h. 738.
Supriyadi Widodo Eddyono. “Pembebanan Pembuktian Terbalik dan Tantangannya (Verification Reversed Imposition and It’s Challenges.” Legislasi Indonesia. Vol. 8 No. 2, 2011, h. 274.
Wahyu Wiriadinata. “Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian.” Jurnal Hukum & Pembangunan. Vol. 43 No. 1 (2017).
Internet:
Muwahid, Upaya Pemberantasan Korupsi Melalui Pembuktian Terbalik dan Hukuman Mati (online), http://Upaya Pemberantasan-Korupsi-Melalui-Pembuktian-Terbalik dan Hukuman-Mkkati-htm. diakses pada tanggal 6 Maret 2023.
Downloads
Published
Issue
Section
License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Authors who publish with this journal agree to the following terms:
- Authors retain copyright and grant the journal right of first publication with the work simultaneously licensed under a Attribution-ShareAlike 4.0 International (CC BY-SA 4.0) License that allows others to share the work with an acknowledgement of the work's authorship and initial publication in this journal.
- Authors are able to enter into separate, additional contractual arrangements for the non-exclusive distribution of the journal's published version of the work (e.g., post it to an institutional repository or publish it in a book), with an acknowledgement of its initial publication in this journal.
- Authors are permitted and encouraged to post their work online (e.g., in institutional repositories or on their website) prior to and during the submission process, as it can lead to productive exchanges, as well as earlier and greater citation of published work (See The Effect of Open Access).
The Authors submitting a manuscript do so on the understanding that if accepted for publication, copyright of the article shall be assigned to jurnal PERSPEKTIF and Research Institutions and Community Service, Wijaya Kusuma Surabaya University as publisher of the journal.